Jarimu Ujaranmu
Mungkin pernah
terlintas di benak kita mengapa manusia diciptakan dengan dua telinga, dua mata
namun satu mulut. Ada sebuah jawaban bijak yang tak asing lagi bagi telinga
kita, bahwa manusia diharapkan untuk melihat dan mendengar lebih banyak
daripada berbicara. Mulut kita sangat berpotensi untuk menjadi bencana, bahwa
dalam banyak berkata-kata akan semakin banyak peluang untuk membuat kesalahan.
Dalam kaitannya dengan dunia digital seperti sekarang ini, maka bolehlah jika
kita mengatakan bahwa jari kita bisa sama berbahanya dengan mulut. Pasalnya
sekarang banyak bentuk komunikasi yang tak perlu saling bertatap langsung, tak
perlu menggunakan mulut secara fisik untuk mencipta kata. Ujaran kita terbentuk
ketika jari jemari menari di atas tombol keyboard
laptop, komputer ataupun smart phone.
Semakin hari kita menyadari bahwa dunia tak lagi terbatas oleh empat dinding
ruangan dimana kita berada. Dunia seolah hanya sedekat genggaman tangan.
Sayangnya, kecanggihan teknologi yang menembus keterbatasan ruang dan waktu
masih kurang berimbang dengan tingkat literasi penggunanya. Keaktifan
masyarakat Indonesia sebagai netizen,
warga dunia maya, masih menyisakan pekerjaan rumah yang besar dengan tersebarnya
hoaks dimana-mana. Ini adalah sebuah kenyataan pahit yang tidak bisa diingkari
dan harus diskapi.
Menjamurnya ‘Jurnalis’ yang Belum
Matang
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) V daring pada laman https://kbbi.kemdikbud.go.id/, kata
hoaks sebagai ajektiva berarti tidak benar dan sebagai kata benda bermakna
berita bohong. Hoaks menjadi masalah ketika tersebar luas dan dibaca
masyarakat. Sekali lagi, kecanggihan teknologi memiliki titik lemah tanpa
adanya literasi dan kendali. Dengan adanya tombol share (bagi), akan sangat mudah bagi jari jemari yang sedang
menjelajah dunia maya, khususnya media sosial, menyebarluaskan informasi,
termasuk berita bohong tersebut (hoaks) dalam hitungan detik.
Hoaks marak ketika
semua orang kini seolah menempatkan diri sebagai pembuat berita (citizen journalism) tanpa dibekali
dengan pengetahuan dan keterampilan yang mencukupi sebagai seorang jurnalis.
Tentu saja ada kaidah-kaidah tertentu yang seharusnya dimiliki oleh seorang
jurnalis ketika hendak meramu sebuah berita supaya menjadi layak untuk
dikonsumsi oleh khalayak ramai. Prinsip mendasar dalam penulisan berita 5W+1H (What, When, Where, Who, Why, How-Apa,
Kapan, Di mana, Siapa, Mengapa, Bagaimana) acapkali dilupakan. Lebih dari itu,
salah satu teori sistem pers adalah teori tanggung jawab sosial seperti yang
dikutip oleh Damar Iradat dalam tulisan bertajuk ‘Pentingnya Pendidikan Dasar
Jurnalisme Bagi Wartawan’ yang dimuat dalam Kompasiana. Berpijak dari teori
tersebut, serta mengutip pernyataan Bill Kovach dan Tom Rosenthiel mengenai
elemen jurnalisme, Damar menyimpulkan bahwa menjadi wartawan memikul beban yang
berat karena dituntut untuk bertanggung jawab kepada masyarakat atas berita
yang mereka muat. Dengan munculnya berita yang tidak benar, berarti nyatalah
bahwa tanggung jawab itu belum tertanam dalam diri sebagian besar pengguna
media sosial yang notabene berperan sebagai jurnalis di media sosial.
Ikut Arus atau Cuci Tangan
Ketika hoaks begitu
ramai berlalu-lalang di media, kemungkinan pertama yang terjadi adalah masyarakat termakan oleh
berita-berita tersebut. Fenomena ini sudah kita rasakan gelagat dan dampak
negatifnya. Banyak berita yang tidak jelas sumber, penulis, keabsahan data
ataupun foto diumbar di sana sini. Bahkan sebagian warganet seolah juga
berlomba-lomba untuk meyebarluaskannya hingga menjadi sebuah berita yang viral.
Hal ini tentu saja bukan hal yang menggembirakan. Satu dampak yang terasa
begitu menyesakkan adalah tergoresnya kebhinekaan Indonesia. Sudah menjadi
rahasia umum jika masalah politik seringkali dijadikan bahan untuk hoaks dengan
memanfaatkan isu-isu sensitif.
Kemungkinan kedua yang
bisa juga terjadi dari maraknya hoaks adalah munculnya sikap antipati terhadap
segala sesuatu yang berhubungan dengan pemberitaan di media sosial. Bagi yang
berpandangan ini, mereka cenderung memilih untuk menarik diri, tidak mau
terlibat dalam hiruk pikuk interaksi media sosial. Pilihan ini juga tidak
terlalu menggembirakan.
Mewariskan Jejak Bagi Penerus
Generasi
Generasi muda saat ini
biasa disebut sebagai generasi Z. Mereka adalah generasi yang lekat dengan
gawai (gadget), sehingga sebagian besar
waktu mereka dihabiskan untuk berinteraksi dalam dunia maya, terkhusus media
sosial. Hal ini tentu saja mengisyaratkan bahwa media sosial memiliki dampak
yang sangat besar bagi mereka. Jika boleh melebarkan pandang, adalah tanggung
jawab kita untuk mempersiapkan generasi yang akan datang. Jika kita sebagai
orang tua, terkhusus pendidik di lingkungan sekolah, mengambil sikap untuk cuci
tangan, tidak mau turut campur dengan fenomena dunia sosial yang dipenuhi
hoaks, bagaimana nasib anak cucu kita nanti?
Pendidikan menjadi
kunci yang bisa menyelamatkan generasi. Pendidik di lingkungan formal sudah
seharusnya ambil bagian dalam hal ini. Lebih dari itu, pendidikan bukan hanya
tanggung jawab sekolah. Seperti yang selalu diserukan pemerintah, utamanya
lewat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bahwasanya pendidikan adalah
tanggung jawab bersama. Seluruh anggota masyarakat wajib berperan serta dan
bersinergi dalam mendidik generasi muda. Pendidikan yang efektif bukan hanya
lewat pemaparan teori dan wejangan, namun akan lebih mengena ketika pendidikan
itu down to earth (membumi), salah satunya adalah menyentuh subyek
pembelajar dalam keseharian mereka. Stephen
Balkam, CEO sebuah organisasi yang bergerak dalam pengunaan internet yang aman,
mengatakan bahwa memang kehadiran guru dalam media sosial sangat
dibutuhkan mengingat tingkat penggunaan
internet yang tinggi di kalangan remaja. Latar belakang inilah
yang mendorong penulis untuk berusaha menjadi seorang pendidik yang mau terbuka
dengan dunia generasi Z, turun gunung mengenal media sosial.
Ketika kita sebagai
pendidik memutuskan untuk terjun dalam dunia maya, khususnya media sosial, ada
misi yang selalu harus diingat dan dipegang kaitannya dengan apa dan bagaimana
kita bertindak di dalamnya. Cara kita berkomunikasi dan berinteraksi di
media-media tersebut, termasuk konten yang kita unggah, akan dilihat dan
‘dinilai’ oleh pengguna yang lain, termasuk anak didik, generasi muda. Secara
tidak langsung kita adalah contoh, role
model, bagi mereka. Setiap konten yang muncul di dunia maya tak akan pernah
terhapus jejaknya, oleh karenanya kita perlu bertanya tentang jejak yang sudah
dan akan kita tinggalkan di sana.
Menarikan Jari Menyebarkan
Kebenaran Sejati
Berkaca
dari hal di atas, sebagai seorang pendidik, baik dalam institusi formal maupun
sebagai bagian dari masyarakat, apa yang dapat kita lakukan untuk memerangi
hoaks? Pertama, kita harus mejadi pelopor untuk menyebarkan berita yang benar.
Salah satu cara untuk menangkal menjamurnya berita bohong adalah dengan
menyajikan berita yang benar. Dalam kegiatan pembelajaran, guru dapat
melibatkan peserta didik untuk berperan aktif di dalamnya. Seperti pengalaman
penulis, siswa diminta untuk melakukan liputan tentang kegiatan sekolah dan
mengunggah hasilnya melalui media sosial yang mereka punya (Instagram,
Facebook). Siswa dimotivasi untuk belajar menjadi seorang jurnalis yang baik
karena beritanya akan dibaca oleh orang lain. Tentu saja isi yang mereka unggah
berada dalam bimbingan dan pengawasan guru. Dengan memanfaatkan media sosial
dalam pembelajaran diharapkan siswa dapat memperoleh pengalaman bahwa media
sosial dapat memberi dampak yang positif dan mereka bisa ikut andil dalam
menciptakan berita yang benar.
Hal
kedua yang bisa dilakukan tentu saja adalah menjadi duta anti hoaks. Kampanye
tentang gerakan anti hoaks perlu terus didengung-dengungkan meski dalam taraf
lokal dan dalam bentuk yang sederhana. Kita juga bisa memberi klarifikasi jika
menemukan berita hoaks dalam komunitas kita. Misalnya dalam group aplikasi Whatsapp,
ketika ada teman yang membagikan tautan yang tidak benar, penulis akan mencoba
membuka layanan mesin pencari untuk memastikan kebenarannya. Jika menemukan
fakta yang sebenarnya, maka penulis akan memberikan klarifikasi. Memiliki
komunitas yang melek digital juga sangat baik, sehingga antar anggota bisa
saling mengingatkan dan memberi masukan ketika berita hoaks menyerang.
Yang
terakhir, memerangi hoaks yang sudah menjamur adalah sebuah proses pembiasaan.
Tidak ada jalan instan yang bisa menawarkan solusi. Berbagai upaya perlu
dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan. Salah satu hal yang
sedang digalakkan adalah pembiasaan budaya literasi, yang utamanya menyasar
lingkungan sekolah. Perlu dukungan penuh dari seluruh pihak untuk menyuksekan
program ini. Proses pendidikan karakter melalui Gerakan Literasi Sekolah pada
dasarnya adalah untuk meningkatkan kualitas literasi, kemampuan untuk mengolah
informasi yang kita terima dengan baik dan benar. Muaranya, ketika kita dapat
menjadi pembaca yang baik. Kemampuan membaca adalah kemampuan dasar literasi
sehingga jika seseorang sudah menjadi pembaca yang baik, niscaya dia juga bisa
menjadi penulis bahkan penyebar berita yang baik pula. Prinsip ini berlaku
dalam semua media, termasuk media sosial.
Bunda Teresa pernah
mengatakan bahwa manusia seumpama sebatang pensil di tangan Tuhan yang
menuliskan surat cinta-Nya bagi dunia. Oleh
karena itu, mari menarikan jari jemari kita bukan untuk membuat dan
menyebarkan hoaks, melainkan untuk mencipta dan menyebarkan kebenaran demi masa
depan generasi yang lebih baik dan bermartabat. Kalau bukan kita yang bergerak,
siapa lagi?
#antihoax #pgrijateng #marimas #antihoakssangpendidik