Friday, November 10, 2017

JELAJAH JEJAK JARI JEMARI

Jarimu Ujaranmu
Mungkin pernah terlintas di benak kita mengapa manusia diciptakan dengan dua telinga, dua mata namun satu mulut. Ada sebuah jawaban bijak yang tak asing lagi bagi telinga kita, bahwa manusia diharapkan untuk melihat dan mendengar lebih banyak daripada berbicara. Mulut kita sangat berpotensi untuk menjadi bencana, bahwa dalam banyak berkata-kata akan semakin banyak peluang untuk membuat kesalahan. Dalam kaitannya dengan dunia digital seperti sekarang ini, maka bolehlah jika kita mengatakan bahwa jari kita bisa sama berbahanya dengan mulut. Pasalnya sekarang banyak bentuk komunikasi yang tak perlu saling bertatap langsung, tak perlu menggunakan mulut secara fisik untuk mencipta kata. Ujaran kita terbentuk ketika jari jemari menari di atas tombol keyboard laptop, komputer ataupun smart phone. Semakin hari kita menyadari bahwa dunia tak lagi terbatas oleh empat dinding ruangan dimana kita berada. Dunia seolah hanya sedekat genggaman tangan. Sayangnya, kecanggihan teknologi yang menembus keterbatasan ruang dan waktu masih kurang berimbang dengan tingkat literasi penggunanya. Keaktifan masyarakat Indonesia sebagai netizen, warga dunia maya, masih menyisakan pekerjaan rumah yang besar dengan tersebarnya hoaks dimana-mana. Ini adalah sebuah kenyataan pahit yang tidak bisa diingkari dan harus diskapi.

Menjamurnya ‘Jurnalis’ yang Belum Matang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V daring pada laman https://kbbi.kemdikbud.go.id/, kata hoaks sebagai ajektiva berarti tidak benar dan sebagai kata benda bermakna berita bohong. Hoaks menjadi masalah ketika tersebar luas dan dibaca masyarakat. Sekali lagi, kecanggihan teknologi memiliki titik lemah tanpa adanya literasi dan kendali. Dengan adanya tombol share (bagi), akan sangat mudah bagi jari jemari yang sedang menjelajah dunia maya, khususnya media sosial, menyebarluaskan informasi, termasuk berita bohong tersebut (hoaks) dalam hitungan detik.
Hoaks marak ketika semua orang kini seolah menempatkan diri sebagai pembuat berita (citizen journalism) tanpa dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang mencukupi sebagai seorang jurnalis. Tentu saja ada kaidah-kaidah tertentu yang seharusnya dimiliki oleh seorang jurnalis ketika hendak meramu sebuah berita supaya menjadi layak untuk dikonsumsi oleh khalayak ramai. Prinsip mendasar dalam penulisan berita 5W+1H (What, When, Where, Who, Why, How-Apa, Kapan, Di mana, Siapa, Mengapa, Bagaimana) acapkali dilupakan. Lebih dari itu, salah satu teori sistem pers adalah teori tanggung jawab sosial seperti yang dikutip oleh Damar Iradat dalam tulisan bertajuk ‘Pentingnya Pendidikan Dasar Jurnalisme Bagi Wartawan’ yang dimuat dalam Kompasiana. Berpijak dari teori tersebut, serta mengutip pernyataan Bill Kovach dan Tom Rosenthiel mengenai elemen jurnalisme, Damar menyimpulkan bahwa menjadi wartawan memikul beban yang berat karena dituntut untuk bertanggung jawab kepada masyarakat atas berita yang mereka muat. Dengan munculnya berita yang tidak benar, berarti nyatalah bahwa tanggung jawab itu belum tertanam dalam diri sebagian besar pengguna media sosial yang notabene berperan sebagai jurnalis di media sosial.

Ikut Arus atau Cuci Tangan
Ketika hoaks begitu ramai berlalu-lalang di media, kemungkinan pertama  yang terjadi adalah masyarakat termakan oleh berita-berita tersebut. Fenomena ini sudah kita rasakan gelagat dan dampak negatifnya. Banyak berita yang tidak jelas sumber, penulis, keabsahan data ataupun foto diumbar di sana sini. Bahkan sebagian warganet seolah juga berlomba-lomba untuk meyebarluaskannya hingga menjadi sebuah berita yang viral. Hal ini tentu saja bukan hal yang menggembirakan. Satu dampak yang terasa begitu menyesakkan adalah tergoresnya kebhinekaan Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum jika masalah politik seringkali dijadikan bahan untuk hoaks dengan memanfaatkan isu-isu sensitif.
Kemungkinan kedua yang bisa juga terjadi dari maraknya hoaks adalah munculnya sikap antipati terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan pemberitaan di media sosial. Bagi yang berpandangan ini, mereka cenderung memilih untuk menarik diri, tidak mau terlibat dalam hiruk pikuk interaksi media sosial. Pilihan ini juga tidak terlalu menggembirakan.

Mewariskan Jejak Bagi Penerus Generasi
Generasi muda saat ini biasa disebut sebagai generasi Z. Mereka adalah generasi yang lekat dengan gawai (gadget), sehingga sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk berinteraksi dalam dunia maya, terkhusus media sosial. Hal ini tentu saja mengisyaratkan bahwa media sosial memiliki dampak yang sangat besar bagi mereka. Jika boleh melebarkan pandang, adalah tanggung jawab kita untuk mempersiapkan generasi yang akan datang. Jika kita sebagai orang tua, terkhusus pendidik di lingkungan sekolah, mengambil sikap untuk cuci tangan, tidak mau turut campur dengan fenomena dunia sosial yang dipenuhi hoaks, bagaimana nasib anak cucu kita nanti?
Pendidikan menjadi kunci yang bisa menyelamatkan generasi. Pendidik di lingkungan formal sudah seharusnya ambil bagian dalam hal ini. Lebih dari itu, pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah. Seperti yang selalu diserukan pemerintah, utamanya lewat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bahwasanya pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Seluruh anggota masyarakat wajib berperan serta dan bersinergi dalam mendidik generasi muda. Pendidikan yang efektif bukan hanya lewat pemaparan teori dan wejangan, namun akan lebih mengena ketika pendidikan itu down to earth (membumi), salah satunya adalah menyentuh subyek pembelajar dalam keseharian mereka. Stephen Balkam, CEO sebuah organisasi yang bergerak dalam pengunaan internet yang aman, mengatakan bahwa memang kehadiran guru dalam media sosial sangat dibutuhkan  mengingat tingkat penggunaan internet yang tinggi di kalangan remaja. Latar belakang inilah yang mendorong penulis untuk berusaha menjadi seorang pendidik yang mau terbuka dengan dunia generasi Z, turun gunung mengenal media sosial.
Ketika kita sebagai pendidik memutuskan untuk terjun dalam dunia maya, khususnya media sosial, ada misi yang selalu harus diingat dan dipegang kaitannya dengan apa dan bagaimana kita bertindak di dalamnya. Cara kita berkomunikasi dan berinteraksi di media-media tersebut, termasuk konten yang kita unggah, akan dilihat dan ‘dinilai’ oleh pengguna yang lain, termasuk anak didik, generasi muda. Secara tidak langsung kita adalah contoh, role model, bagi mereka. Setiap konten yang muncul di dunia maya tak akan pernah terhapus jejaknya, oleh karenanya kita perlu bertanya tentang jejak yang sudah dan akan kita tinggalkan di sana.

Menarikan Jari Menyebarkan Kebenaran Sejati
            Berkaca dari hal di atas, sebagai seorang pendidik, baik dalam institusi formal maupun sebagai bagian dari masyarakat, apa yang dapat kita lakukan untuk memerangi hoaks? Pertama, kita harus mejadi pelopor untuk menyebarkan berita yang benar. Salah satu cara untuk menangkal menjamurnya berita bohong adalah dengan menyajikan berita yang benar. Dalam kegiatan pembelajaran, guru dapat melibatkan peserta didik untuk berperan aktif di dalamnya. Seperti pengalaman penulis, siswa diminta untuk melakukan liputan tentang kegiatan sekolah dan mengunggah hasilnya melalui media sosial yang mereka punya (Instagram, Facebook). Siswa dimotivasi untuk belajar menjadi seorang jurnalis yang baik karena beritanya akan dibaca oleh orang lain. Tentu saja isi yang mereka unggah berada dalam bimbingan dan pengawasan guru. Dengan memanfaatkan media sosial dalam pembelajaran diharapkan siswa dapat memperoleh pengalaman bahwa media sosial dapat memberi dampak yang positif dan mereka bisa ikut andil dalam menciptakan berita yang benar.
            Hal kedua yang bisa dilakukan tentu saja adalah menjadi duta anti hoaks. Kampanye tentang gerakan anti hoaks perlu terus didengung-dengungkan meski dalam taraf lokal dan dalam bentuk yang sederhana. Kita juga bisa memberi klarifikasi jika menemukan berita hoaks dalam komunitas kita. Misalnya dalam group aplikasi Whatsapp, ketika ada teman yang membagikan tautan yang tidak benar, penulis akan mencoba membuka layanan mesin pencari untuk memastikan kebenarannya. Jika menemukan fakta yang sebenarnya, maka penulis akan memberikan klarifikasi. Memiliki komunitas yang melek digital juga sangat baik, sehingga antar anggota bisa saling mengingatkan dan memberi masukan ketika berita hoaks menyerang.
            Yang terakhir, memerangi hoaks yang sudah menjamur adalah sebuah proses pembiasaan. Tidak ada jalan instan yang bisa menawarkan solusi. Berbagai upaya perlu dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan. Salah satu hal yang sedang digalakkan adalah pembiasaan budaya literasi, yang utamanya menyasar lingkungan sekolah. Perlu dukungan penuh dari seluruh pihak untuk menyuksekan program ini. Proses pendidikan karakter melalui Gerakan Literasi Sekolah pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kualitas literasi, kemampuan untuk mengolah informasi yang kita terima dengan baik dan benar. Muaranya, ketika kita dapat menjadi pembaca yang baik. Kemampuan membaca adalah kemampuan dasar literasi sehingga jika seseorang sudah menjadi pembaca yang baik, niscaya dia juga bisa menjadi penulis bahkan penyebar berita yang baik pula. Prinsip ini berlaku dalam semua media, termasuk media sosial.
Bunda Teresa pernah mengatakan bahwa manusia seumpama sebatang pensil di tangan Tuhan yang menuliskan surat cinta-Nya bagi dunia. Oleh  karena itu, mari menarikan jari jemari kita bukan untuk membuat dan menyebarkan hoaks, melainkan untuk mencipta dan menyebarkan kebenaran demi masa depan generasi yang lebih baik dan bermartabat. Kalau bukan kita yang bergerak, siapa lagi?


#antihoax #pgrijateng #marimas #antihoakssangpendidik